
Pemerintah tengah meninjau kemungkinan penurunan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tahun depan sebagai langkah untuk mendorong daya beli masyarakat. Meski demikian, kebijakan pengurangan tarif PPN harus dikaji secara hati-hati. Pemerintah menekankan bahwa setiap langkah harus mempertimbangkan dampak ekonomi dan fiskal agar penerimaan negara tetap stabil.
Hingga saat ini, tarif PPN ditetapkan sebesar 12%, tetapi tarif efektif bagi sebagian besar barang dan jasa tetap 11%. Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa, menegaskan bahwa keputusan penurunan tarif PPN akan bergantung pada kondisi ekonomi dan penerimaan negara pada akhir tahun.
"Kita akan lihat seperti apa di akhir tahun, ekonominya, uang yang saya dapat di akhir tahun [penerimaan negara] karena sampai sekarang belum terlalu clear. Nanti akan kita lihat, bisa atau enggak kami turunkan PPN," ujar Purbaya.
Ia menambahkan bahwa Kementerian Keuangan perlu mempertimbangkan secara cermat sebelum mengambil keputusan, karena penurunan tarif PPN memiliki dampak yang luas terhadap perekonomian.
Perubahan tarif PPN diatur dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Berdasarkan UU tersebut:
Meski tarif nominal sudah 12%, tarif efektif untuk mayoritas barang dan jasa tetap 11%, berdasarkan PMK 131/2024. Perhitungan ini menggunakan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) 11/12 dari nilai impor, harga jual, atau penggantian, dan berlaku untuk barang/jasa konsumsi nonmewah.
Untuk barang yang tergolong mewah, tarif PPN tetap 12% sesuai UU PPN. BKP (Barang Kena Pajak) mewah mencakup:
Kategori barang ini selama ini juga dikenakan PPnBM (Pajak Penjualan atas Barang Mewah), sehingga tarif pajak berlaku berbeda dari barang/jasa standar.
Pemerintah tengah menimbang kebijakan pengurangan tarif PPN sebagai upaya meningkatkan daya beli masyarakat, namun langkah ini memerlukan kajian matang agar tidak menimbulkan risiko defisit fiskal. Keputusan akhir akan mempertimbangkan kondisi ekonomi, penerimaan negara, dan keseimbangan antara insentif konsumsi dengan stabilitas fiskal.